Dia Terlahir dalam Senja

Antara alasan dan arah terbentang garis, tapi tak
selamanya hidup menempuh garis itu. Mawar
ada tanpa kenapa, ia mekar karena mekar,
iya tengah bersatu dengan
Waktu yang tak terduga dalamnya – bukan waktu
yang dibentangkan ke khalayak ramai, bukan waktu
yang gampang diukur, tapi sebuah ekstasis. Saat
yang dahsyat. Saat ketika sang subyek raib, tak lagi
berdaulat.

Buddha memang mengajarkan anatman dan anitya:
ia menunjukkan bahwa tak ada subyek yang sama,
tak ada yang permanen. Hidup adalah sebuah arus
eksistensi yang selalu lahir kembali, tapi tiap-tiap
kali berbeda, tiap-tiap kali satu momen kelahiran tak
ingat akan kelahiran sebelumnya, juga tak akan tahu
kelahiran yang kelak.

Agaknya itu sebabnya kematian, keberanian,
kesedihan, dan cinta, tak henti-hentinya ditulis
dan diabadikan oleh para penyair – dan apa yang
menggetarkan dari Mahabharata, yang sayu dari
Shakespeare tak terasa sebagai hanya replika, tak
cuma mengulang hal yang itu-itu saja.

Sebab itu, bagi mereka yang percaya akan dukkha,
anatman, dan anitya, patung adalah puing, hutan
adalah kesunyian, dan hujan seperti kabut. 

 Tak adakah alasan Tuhan? Sang mistikus
akan menjawab “tidak.” Hanya Tuhan yang
dibayangkan sebagai sosok, hanya Tuhan macam
itu yang butuh alasan dan tujuan – dan dengan
demikian seakan-akan Ia bergerak dalam-ruang.
Tanpa kejutan. Tanpa menyebabkan rasa lega.
Mungkin itu sebabnya Nietzsche hanya mau
percaya kepada Tuhan yang menari.
Tamblingan: Siapa yang pernah menanam pohon
akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya
sebuah batang dalam ruang, tapi juga sebentuk
tanda dalam waktu.

Berapa ratus tahun terhimpun dalam hutan yang
masih utuh di sekeliling Danau Tamblingan?
Ribuan pokok tua dan muda saling merapat, jalin-
menjalin bersama perdu, carang dan sulur; sekitar
pun tambah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang
entah sejak kapan menyembunyikan jalan setapak.

Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di
perbukitan Bali Utara itu, menembus semak,
entah berapa kilometer, dalam kesepian yang
hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di
timur, di tepi danau, tampak sebuah pura kecil
yang nyaris terlindung. Di saat itu, di separuh
gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian
bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap
menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan-
akan bergetar di ruas batang trembesi.

Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu
pun berubah. Bagaikan sepetak tanah yang
gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar
akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap
diukur. Tamasya itu – hutan yang hilang, waktu
yang dirampat – tak lagi punya tuah. Ia hanya
punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal
telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan
kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga
“puak yang perkasa dan damai” itu – ungkapan
Marcel Proust tentang pohon-pohon – pun tak
dilahirkan kembali.

Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan
di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana
Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-
raja yang uzur menyingkir ke dalamnya sebagai
pertapa, untuk – seperti Destarastra, disertai
Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir
Mahabharata – menantikan mati. Para penguasa
yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat
menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba
menemui kembali pohon-pohon.

35
Saya berdiri di bawah surya pukul 9:00 yang
menyenangkan di sebuah pagi di tahun 1990
Pori-pori kulit serasa bergetar, ultraviolet matahari
meresap. Saya sendirian. Tapi burung-burung
gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran.
Dari pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun
menyentuh tanah.

Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul
9, pohon yang rindang? Di tahun 199
0-an itu saya
telah melupakan pertanyaan macam itu. Bangun
pagi, berjalan siang, dan tidur malam saya tak
menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam hal-
ikhwal yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele.
Waktu itu Indonesia adalah arena kata-kata yang
membahana: “Revolusi,” “Sosialisme Indonesia,”
“Dunia Baru” – semuanya dengan huruf kapital,
semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras
suara, semuanya menggugah, menerobos jiwa.

Saya memandangi kembali burung-burung itu.
Tiba-tiba saya sadar, tak pernah saya terkesima
akan hal yang sebenarnya dahsyat tapi tersisih:
warna bulu yang menakjubkan itu, sepasang mata
yang seperti merjan jernih itu, sayap yang serba
sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya
waktu buat tetek-bengek. Kami hanya menyimak
soal-soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa
depan.

Ada yang salah agaknya. Masa depan hanya
berarti jika kita tak bilang “tidak” kepada burung
gereja di pelataran hari ini.


Kita hidup dengan warisan Cervantes. Para
ksatria telah punah. Kita tahu, Don Quixote,
lelaki tua krempeng yang naik kuda jelek itu
– yang membayangkan diri seorang Don yang
bersedia berperang untuk menegakkan nilai-nilai
yang luhur – adalah tetap Alonzo Quixano yang
miskin. Bila ia meninggalkan rumahnya buat
bertualang dan berperang untuk memperbaiki
Dunia, itu karena ia majenun.

Namun dari tangan Cervantes, Don Quixote justru
kemajenunan yang mengharukan: di sampingnya
ada Sancho Panza. Petani pendek tambun dengan
pikiran sederhana ini mengikutinya dengan setia,
antara percaya dan tidak.

“Ajaibilah aku tanpa keajaiban!” serunya suatu
kali. Ia tak punya waham. Ia tahu bahwa
bertempur melawan kincir angin bukanlah
bertempur melawan raksasa yang menyamar
dengan sihir. Ia tak melihatnya sebagai suatu
konfrontasi yang dramatik. Ia bisa hidup tanpa
drama. Tapi ia tak meninggalkan Alonzo
Quixano.

Bagi Sancho, hidup adalah kiat untuk beroperasi
di celah-celah apa yang mungkin. Tapi hidup
tak hanya sepenuhnya terdiri atas yang “apa
tak mungkin.” Ternyata manusia juga bisa
menghendaki sesuatu yang mustahil tapi niscaya,
misalnya keadilan. Terkadang ada sesuatu yang
berharga di luar tatanan praktis, sesuatu yang
mendorong manusia untuk membuat sejarah.


Ia tahu hanya manusialah yang bisa bermimpi
dan menyiapkan perubahan, justru di dunia yang
tak terpenuhi. “Manusia menentukan, Tuhan
mengecewakan,” begitulah ia berkata.


Keadilan adalah sesuatu yang ada justru karena
tak hadir. Ia ibarat akanan. Kita melihatnya ketika
kita berdiri di tepi laut dan memandang nun
jauh di sana, tanpa tahu bagaimana wujudnya.
Ia kosong yang selaik kolong – kosong yang
dapat diberi nama dan ditunjuk. Ia absensi yang
menghimbau; tandanya luka pedih yang terjadi
ketika ketidak-adilan menguasai ruang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Situ Tonjong, Riwayatmu kini

Pengalaman adventure dan pesona keindahan kebun teh Cianten,Bogor,

Huma diatas Bukit