Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Wisatawan penyuka aktivitas luar ruang biasanya tertarik pada Mountain Biking, Desa Citalahab Bedeng, juga Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Tapi suatu ketika saya mencoba menyibak kanopi hutan hujan tropis di TNGHS dan menemukan warna-warni hidupan liar lain.
Desa Citalahab Bedeng berada di sebuah lembah, tepat di jantung kawasan TNGHS. Jadi kearah mana saja kita memandang dari desa ini, kita akan melihat hutan hujan tropis yang asri. Desa wisata ini dibelah oleh kali Cikaniki, sebuah kali berair bening yang dimanfaatkan airnya untuk menggerakkan turbin yang menyuplai listrik buat para warga desa. Tiap rumah di desa ini sudah disiapkan untuk menerima para pelancong yang akan mengunjungi TNGHS.
Tidak terlena memelototi pohon yang bertumbangan dan di batang dan cabang yang masih tegak berdiri, kami juga menyapu dasar hutan. Benar saja, di dasar hutan dibawah kanopi hutan, kami menemukan banyak spesies anggrek yang tidak kami duga sebelumnya. Pertama kami menemukan Chrysoglossum ornatum. Dalam satu batang anggrek ini, 7 bunga mekar sempurna, 3 sudah menjadi buah, dan 3 lagi belum mekar.
Teks dan Foto: Bernard T. Wahyu Wiryanta
Menginap di desa Citalahab Bedeng dan merasakan keramah-tamahan penduduk di pinggir hutan kawasan TNGHS merupakan salah satu daya tarik ketika berkali-kali saya mengunjungi Taman Nasional ini. Wisatawan lain, juga pelajar dan para peneliti pun juga merasakan suasana khas yang sama ketika berkunjung ke Citalahab Bedeng.
Bangun pagi, dan hanya berjalan 200 m dari rumah penduduk yang disewakan untuk wisatawan, kita sudah mulai masuk ke kawasan hutan taman nasional. Jika enggan berdingin-dingin kena embun pagi, menikmati teh dan sarapan pagi yang disediakan induk semang di beranda rumah sambil bermalas-malasan pun juga bukan sebuah dosa besar. Tapi kali ini saya mencoba untuk melenceng sedikit, mencoba menerobos kanopi hutan hujan tropis Gunung Kendeng.
Gunung Kendeng (+1700 m dpl) masih merupakan gunung di kawasan TNGHS. Dari desa Citalahab Bedeng memerlukan waktu kurang lebih 40 menit dengan mobil untuk sampai desa Malasari, desa terakhir di kaki Gunung Kendeng. Saran saya, sebaiknya jika akan kesini memakai mobil dengan penggerak gardan ganda, atau minimal mempunyai ground clereancetinggi.
Bonus Sepanjang Jalan
Dalam perjalanan dari Citalahab menuju Malasari, kami sudah diberi bonus 3 spesies anggrek yang sedang mekar. Spatoglothis warna putih, merah, dan satu Schoenorchis juncifoliayang memunculkan puluhan tandan bunga warna ungu. Dua Spatoglothis ini menyatu dengan semak dan alang-alang, hingga jika saja tidak berbunga kami bakalan kelewatan. SedangkanSchoenorchis banyak ditemui menggantung pada pohon teh sepanjang jalan. Selain anggrek, di sepanjang jalan, tebing di kanan kiri juga dihiasi dengan warna-warni Begonia isoptera yang memunculkan bunga.
Dari desa Malasari, hanya berjalan kira-kira 10 menit kami sudah mencapai batas hutan dan lahan pertanian penduduk. Baru masuk hutan sekitar 100 m kami langsung disuguhi arbei hutan matang merah menyala. Memancing tangan untuk segera memetik dan menyantapnya. Di Gunung Kendeng ini, jenisnya adalah Rubus fraxinifolius.
Nepenthes gymnamphora
Setelah “menjarah” arbei yang ranum ini, kami kemudian melanjutkan menyibak semak ke atas, di beberapa bagian tanah yang terbuka kami kemudian disuguhi Lobelia angulata yang berbuah banyak, merayap menutup tanah dengan buah ungunya. Dari permadani lobelia ini, kira kira berjalan 150 m, pemandu kami yang berjalan di depan kemudian berjongkokmenyibak serasah, rupanya menemukan Nepenthes gymnamphora. Kantong semar ini berukuran kecil, kira kira panjang 10 cm, diameter 3 cm. Kumpulan kantong ini menempel di tanah. Sebagian kantongnya masih tertutup, tampak sayap dengan duri halus di kedua sisinya. Warnanya merah menyala, dengan beberapa bercak kehijauan, tanda jenis kantong bawah.
Di sekeliling rumpun Nepenthes ini kami tidak menemukan jenis kantong tengah dan kantong atas. Hanya kantong bawah saja. Jenis N gymnamphora ini juga bisa ditemui di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan di sekitar pengunungan Prau di Jawa Tengah.
Makin menanjak-sambil berhati-hati dari gigitan lintah-kami mendapati kanopi hutan semakin rapat. Sambil menengok kanan-kiri dan atas bawah kami bergerilya mencari warna-warni hidupan liar lain. Satu-persatu kami kemudian menemukan spesies anggrek yang kemudian kami jerat dalam memory kamera digital kami.
Tidak beberapa lama, kamera kami kemudian mulai membidik puluhan anggrek spesies dari beberapa pohon tumbang ulah penebang liar. Walaupun sedih melihat pohon-pohon besar bertumbangan, tapi kami sedikit diuntungkan, tidak perlu memanjat pohon untuk mendokumentasikan puluhan anggrek spesies ini.
Anggrek Epifit di Pohon Tumbang
Dari beberapa pohon yang bertumbangan, spesies yang paling banyak kami dapati adalah Bulbophyllum. Ada dua spesies Bulbophylum di sini, yaitu B Stormii dan B ovalifolium. Kedua anggrek dengan umbi semu ini kadangkala hampir rata menutup dahan pohon dengan umbinya. Di beberapa pohon lain dengan lumut tebal, kami juga menemukan Dendrobium excavatum dan Gastrochilus sororius, dan dua-duanya sedang berbunga. Kami juga menemukan ratusan rumpun Coelogyne miniata.
Selesai dengan Chrysoglosum, ketika mendapati hutan sedikit terbuka, kami beristirahat. Menjerang kopi dan makan siang. Di sela-sela memasak kopi, beberapa teman sibuk membersihkan lintah yang menempel dan menyedot darah.
Di tempat beristirahat inipun, kami disibukkan dengan mendata anggrek spesies lain. Terutama di pohon yang bertumbangan, benar-benar surga anggrek.
Dalam perjalanan pulang, kami masih menemukan Macodesyang tidak berbunga, juga beberapa spesies anggrek terestrial lain seperti Liparis montana, Calanthe cecilia dan beberapa spesies yang harus didentifikasi ulang penamaannya. Hari ini kami mendapati lebih dari 20 anggrek spesies di Gunung Kendeng. Beberapa tanaman lain selain anggrek pun masuk dalam memory kamera. Pesta anggrek hari berakhir ketika hutan berganti menjadi ladang pertanian penduduk.
Paphiopedilum javanicum
Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan berbatu arah ke Sukabumi (sebelumnya kami berangkat lewat arah Bogor-Leuwiliang). Di pinggiran jalan, telindung oleh paku resam (Gleichenia) kami menemukan satu individu anggrek Paphiopedilumjavanica. Setelah kami menyibak batang paku resam yang rapat, juga dari tumpukan tebal humus dan perakaran paku, kami menemukan banyak sekali tanaman anggrek Paphiopedilumini.
Yang sedikit menggembirakan, menurut Frankie Handoyo dari Perhimpunan Anggrek Indonesia-yang ikut dalam perjalanan kali ini-belum pernah diberitakan bahwa spesies Paphioini ditemukan di kawasan TNGHS. Jadi ini merupakan penemuan pertama.
Namun dari puluhan tanaman Paphiopedillum javanicum yang kami temukan, tidak ada satupun yang memunculkan bunga. Agaknya kami perlu menengoknya lagi di awal musim penghujan.
Komentar
Posting Komentar