Catatan Perjalanan Mudik ke SP3/KLG4c SumSel via Darat
Ini adalah mudik pertama saya ke SumSel via darat. Biasanya setiap saya pulang ke rumah Ortu baik dalam rangka liburan maupun mudik selalu menggunakan pesawat via Bengkulu atau Jambi.
Namun mudik lebaran kali ini saya tertantang untuk mudik via darat karena ingin tahu kota-kota dan daerah mana saja yang dilalui. Menurut banyak cerita, mudik ke sumatera lewat darat sangat menyenangkan, karena di sepanjang perjalanan kita akan disuguhi hal-hal baru yang luar biasa, apalagi bagi saya yang cuma tahu Pulau Jawa.
Selain itu saya juga ingin menjajal Mobil LCGC (low cost green car), yang konon disebut mobil murah. Dengan kapasitas mesin cuma 998 cc dan (katanya) didesain khusus perkotaan, saya ingin tahu apakah mobil LCGC juga sanggup menembus belantara Sumatera. Nekat, adalah satu satunya bekal untuk memberanikan diri. Bukan sekedar nekat dengan membawa mobil ‘spek rendah’, tetapi juga nekat mengemudi sendiri tanpa bawa sopir cadangan, karena penumpangnya ya cuma saya, istri dan 3 anak saya umur 15 tahun. dan 7thn.Kenekatan lainnya adalah, saya baru bisa nyetir mobil 7 bulan!.
Barang yang dibawa cukup banyak: 2 travel bag jinjing Eiger ukuran besar, 2 kardus oleh-oleh dan beberapa tetek bengek termasuk bekal untuk makan dijalan. Semuanya masuk rapi dalam bagasi kecil kami. Bantal, selimut & boneka siap siaga di bangku belakang menemani si kecil tidur selama perjalanan.
Sebagai penuntun jalan, saya mengandalkan aplikasi smartphone Waze dan GoogleMap. Aplikasi ini tidak hanya menampilkan peta dan rute yang akan dilewati, tetapi juga memberi informasi jarak tempuh, waktu tempuh, kecepatan, bahkan peringatan jika ada kemacetan atau suatu kejadian didepan. Peta mudik dari salah satu koran terkemuka juga siap menjadi ‘second opinion’. Tidak lupa odometer awal sebelum berangkat dicatat, dan fitur TRIP pada MID di set ke angka 0.
Etape I: Perjalanan Malam
Hari Rabu tanggal 23 Juli pukul 20.00 WIB start dari Jakarta menuju Pelabuhan Merak Banten via Tol Jakarta-Merak. Perjalanan lancar sepanjang 108 km ditempuh selama 2 jam. Untuk menyeberang, kami dikenakan biaya Rp.275.000,- untuk kendaraan golongan IVA, itu sudah semua termasuk penumpang.
Memasuki area pelabuhan kami digiring menuju dermaga 2 dan mengantri kira-kira 1 jam menunggu ferry sandar. Baru pada pukul 11.00 mobil masuk ferry dan mulai menyeberang. Merak-Bakauheni ditempuh selama 3 jam. Kami naik ke dek penumpang dan istirahat untuk menjaga stamina.
Hari Kamis tanggal 24 Juli pukul 02.00 ferry yang kami tumpangi bersandar di Bakauheni. Keluar pelabuhan langsung disambut dengan jalanan bergelombang, seolah ingin menyapa kita “Selamat Datang di Sumatera !”. Bersama dengan mobil-mobil bermuatan barang di atap khas pemudik, kami beriringan menembus jalanan Bakauheni-Kalianda-Bandar Lampung selama hampir 2 jam. Pukul 04.00 kami telah tiba di Bandar Lampung dan telah melewati by pass timur sejauh 100,9 km sebelum kemudian berhenti di SPBU untuk makan sahur, sholat subuh dan istirahat.
Etape II: Ruas Lampung dan Pemandangan nan eksotik
Pukul 05.30 kami bergerak menuju Kotabumi via Bandar Jaya. Jalanan pagi itu terasa lengang karena mungkin orang-orang kembali tidur untuk membayar “hutang bangun makan sahur”. Karena itu Bandar Lampung ke Bandar Jaya hanya makan waktu sekitar 45 menit. Di Terbanggi Besar kami bertemu persimpangan dengan jalur lintas timur sumatera ke arah Palembang. Kami mengambil lurus ke arah jalur lintas tengah sumatera. Perjalanan ke Bandar Lampung ke Kotabumi sejauh 91,4 km ditempuh 2 jam termasuk berhenti sebentar isi BBM di SPBU Bandar Jaya.
Tak kuasa menahan kantuk, sampai di Kotabumi pukul 07.30 saya langsung berhenti di Masjid dan meminta izin menumpang tidur di masjid sekitar 45 menit sebelum kemudian melanjutkan perjalanan pada pukul 08.16. Perjalanan antara Kotabumi – Martapura – Baturaja sepanjang 167 km menyuguhkan panorama alam yang luar biasa indah. Pada suatu daerah kita dapat menyaksikan hamparan perbukitan sejauh mata memandang dengan pepohonan beraneka warna dibawah langit yang biru. Setiap tikungan jalan menyuguhkan kegenitan alam yang menggoda setiap orang. Jika tidak hati-hati bisa berbahaya. Kami melalui sebuah kecelakaan yang baru terjadi kira-kira 5 menit yang lalu, antara 2 mobil dan sebuah motor yang tampaknya pengendaranya meninggal dunia.
Jika ingin menikmatinya, berhentilah!. Arahkan wajah anda ke lembah dan hirup lembutnya angin yang membelai. Wanginya aroma bunga kopi sangat menyejukkan jiwa. Di daerah kabupaten Way Kanan, kami juga melihat rumah-rumah panggung yang eksotik di daerah pedesaan. Rumah panggung itu terbuat dari kayu dengan atap seng atau asbes gelombang. Tidak seperti rumah-rumah di Jakarta yang selalu tertutup rapat, Pintu dan jendelanya rumah panggung itu terbuka lebar. Dibalik jendela itu terdapat teralis kayu tegak lurus berukir, dengan gordyn terikat kesamping, memastikan setiap hembusan udara mengalir ke dalam rumah.
Etape III: Ruas Sumsel dan Jalur-Jalur Neraka
Sepanjang jalan antara Martapura ke Baturaja terdapat jalur kereta api membentang.
Kami berpapasan dengan rangkaian kereta api yang menarik puluhan gerbong (mungkin ratusan?) sepanjang hingga lebih dari 1,2 kilometer. Jalur kereta api itu menurut Dahlan Iskan konon menjadi urat nadi perekonomian di Sumatera. Di sepanjang jalur kereta api terdapat stasiun-stasiun KA kecil yang tidak tampak lazimnya stasiun KA di Jawa karena stasiun disana hanya untuk persimpangan kereta, bukan untuk menaik turunkan penumpang.
Kami berpapasan dengan rangkaian kereta api yang menarik puluhan gerbong (mungkin ratusan?) sepanjang hingga lebih dari 1,2 kilometer. Jalur kereta api itu menurut Dahlan Iskan konon menjadi urat nadi perekonomian di Sumatera. Di sepanjang jalur kereta api terdapat stasiun-stasiun KA kecil yang tidak tampak lazimnya stasiun KA di Jawa karena stasiun disana hanya untuk persimpangan kereta, bukan untuk menaik turunkan penumpang.
Pukul 12.00 kami tiba di Baturaja, disambut oleh terik matahari yang menyengat. Kota Baturaja merupakan ibu kota kabupaten Ogan Komering Ulu, yang terkenal dengan Semen Baturaja dan tambang kapur nya. Kami istirahat sebentar di Masjid yang terletak di jalur by-pass sambil sholat Dhuhur. Setelah mengisi bensin di SPBU terdekat, jam 13.00 kami melanjutkan perjalanan ke Muara Enim membelah belantara perkebunan sawit. Melakukan perjalanan di Sumatera memang harus rajin-rajin mengisi BBM agar senantiasa full tank. Kita tidak pernah tahu apakah SPBU berikutnya masih tersedia BBM. Tentunya kita tidak ingin mogok di tengah hutan gara-gara kehabisan BBM
Seksi Baturaja-Muara Enim adalah jalur neraka. Sepanjang puluhan kilometer dari total tempuh 112 km, kami berhadapan dengan jalan yang penuh dengan lubang-lubang yang tak terduga dan dalam. Seringkali saya mendadak mengerem karena tiba-tiba lubang muncul di tengah jalan, seraya memejamkan mata mudah mudahan roda belakang tidak sampai “nyemplung” ke dalam lobang. Beberapa kali saya melihat mobil berhenti “ngeban” karena menghantam lubang. Rusaknya jalanan parah sekali. Jalannya juga berkelok kelok di tengah hutan. Melewati jalur ini harus dengan penuh kesabaran.
Pada pukul 16.22 akhirnya kami tiba di Muara Enim. Rasanya badan penat sekali. Namun kami tidak boleh berlama lama karena sebentar lagi hari gelap. Menurut penuturan orang-orang yang biasa melintasi jalur ini, jika anda tiba di Kota Lahat sudah sore atau menjelang petang, lebih baik berhenti dan menginaplah disana. Ruas Lahat – Lubuk Linggau sangat panjang dan berbahaya karena rawan kejahatan.
Setelah beristirahat beberapa menit di Muara Enim, perjalanan dilanjutkan menuju Lahat sepanjang 43 km. Kami tiba di Lahat sekitar pukul 17.15, tapi langit disana masih terang. Jalanan juga masih ramai. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melalui jalur baypass yang sepi. Kanan-kiri yang ada hanya kebun karet dan sawit. Mobil tidak dapat dikebut karena jalanan agak rusak. Jarak antar kendaraan juga sangat jauh. Sesampai di jalur utama, kami sempat ragu dan berhenti di seberang SPBU terakhir kota Lahat menuju Lubuk Linggau. Diteruskan atau tidak. Kami juga ragu apakah harus menunggu berbuka puasa disini? Karena kami tidak tahu apakah didepan masih ada warung yang bisa kami singgahi untuk berbuka puasa. Jika harus berbuka dan makan di Lubuk Linggau alangkah jauhnya.
Etape V: TUGUMULYO, menuju Tujuan Akhir
Rasa haru tak terkira ketika dari jauh kami melihat gerbang masuk Provinsi Sumatera Selatan. “Akhirnya… Sampai juga kita di Sumsel” seru istri saya ketika melaluinya. Sebelumnya, kami belum pernah segembira itu melihat bangunan bergonjong sungguh merupakan momen yang sangat emosional. Perlu perjalanan sehari dua malam untuk mencapainya dengan kondisi fisik yang letih.
Beberapa saat setelah itu kami kembali tersadar, bahwa perjalanan ini belum berakhir. Masih ada sekitar 3 jam lagi (menurut Waze di HP saya) untuk mencapai MEGANG SAKTI.
Sekitar 3 jam kami berjibaku melalui jalur berkelok-kelok melintasi MERASI menembus punggung2 sawah TUGUMULYO . Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan. Namun begitu bertemu dengan keluarga di tempat tujuan dengan selamat, rasa penat itu langsung tertutup oleh kegembiraan.
Tapi ini masih baru separuhnya, masih ada perjalanan balik ke Jakarta!
#Agunk Satrian1/JULI 2014
#Agunk Satrian1/JULI 2014
Komentar
Posting Komentar